Senin, 23 November 2009

Sejarah Bahasa Indonesia

04.02

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Kerajaan Sriwijaya (dari abad ke-7 Masehi) memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuno) sebagai bahasa kenegaraan. Hal ini diketahui dari empat prasasti berusia berdekatan yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu. Pada saat itu bahasa Melayu yang digunakan bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta. Sebagai penguasa perdagangan di kepulauan ini (Nusantara), para pedagangnya membuat orang-orang yang berniaga terpaksa menggunakan bahasa Melayu, walaupun secara kurang sempurna. Hal ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal, yang secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti. Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10 menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di Pulau Jawa. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila, Pulau Luzon, berangka tahun 900 Masehi juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
Kajian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada masa yang berdekatan. Sayang sekali, bahasa Melayu Kuno tidak meninggalkan catatan dalam bentuk kesusasteraan meskipun laporan-laporan dari Tiongkok menyatakan bahwa Sriwijaya memiliki perguruan agama Buddha yang bermutu.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bentuk resmi bahasa Melayu karena dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa ini lebih halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa Melayu Pasar.
Pada akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Hindia-Belanda melihat bahwa bahasa Melayu (Tinggi) dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi. Promosi bahasa Melayu dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Pada periode ini mulai terbentuklah "bahasa Indonesia" yang secara perlahan terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Bahasa ibu masih menggunakan bahasa daerah yang jumlahnya mencapai 360 bahasa.
Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay Archipelago bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda."
Jan Huyghen van Linschoten di dalam bukunya Itinerario menuliskan bahwa "Malaka adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh."
Pada awal abad ke-20, bahasa Melayu pecah menjadi dua. Di tahun 1901, Indonesia di bawah Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen sedangkan pada tahun 1904 Malaysia di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa : "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Perinciannya sebagai berikut:
Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.
Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.


Sumber diambil dari www.google.com

Rajutan Tanya

03.53

Di suatu rumah yang sederhana tinggalah seorang ibu dengan seorang anaknya yang berumur 7 tahun. Di sore yang senja dengan tiupan lembut angin sore, sang ibu sedang asyiknya merajut di beranda rumah, datanglah sang anak menghampirinya dan duduk disampingnya seraya bertanya “ Bu, apakah ciri – ciri orang baik itu ?”. Ibu menghentikan rajutannya, dengan menghela nafas panjang lalu ibu pun menjawab “ Orang yang baik bukanlah orang yang selalu memberikan sesuatu yang dimilikinya untuk orang lain, bukanlah orang yang selalu diam apabila dirinya merasa direndahkan oleh orang lain, bukanlah orang yang selalu manis tutur kata dan perbuatannya dan bukanlah orang yang selalu membantu orang lain dengan apa yang diperbuatnya. Akan tetapi, orang yang baik adalah orang yang selalu bisa memahami sikap dan kebiasaan orang yang sedang dihadapinya, dan orang yang bisa menempatkan dirinya pada posisi dimana orang lain akan merasa bahagia dan nyaman berada didekatnya “.
Sang anak diam sejenak dan kembali bertanya “ Lalu orang yang bagaimanakah yang dapat dikatakan orang yang pintar, bu ?”. Ibu menjawab “ Orang yang pintar itu bukanlah orang yang selalu dapat menjawab pertanyaan, bukanlah orang yang selalu bisa menyelesaikan berbagai masalah, bukanlah orang yang selalu mendapat penghargaan atau nilai bagus dari semua hasil karyanya, bukan pula orang yang dapat menemukan atau menciptakan hal – hal baru. Akan tetapi, orang yang pintar adalah orang yang bisa menjadikan dirinya berguna bagi orang lain sehingga orang tersebut akan merasa menjadi orang yang cerdas dan sukses karenanya.
Selama ibu menjawab pertanyaannya, sang anak sangat mengamati dan mencermati kata demi kata yang terlontar dari bibir sang ibu karena ia merasa kagum akan jawaban yang diberikan oleh ibunya. Kemudian ibu kembali melanjutkan rajutannya, sambil tersenyum kecil melihat sang anak yang duduk terdiam memikirkan apa yang dikatakannya tadi. Lalu ibu kembali berkata “wahai anak Ku, kebaikan seseorang itu tidak hanya dapat dilihat dari kasat mata tapi lihat dan rasakanlah kebaikan seseorang dengan mata dan hatimu, karena “Dalam laut boleh diajuk, dalam hati siapa yang tahu”. “Apa maksudnya, Bu?” tanya sang anak. “Maksudnya adalah apa yang tersembunyi di dalam hati seseorang tidak dapat kita ketahui”, jawab Ibu. “Selain itu untuk menjadi orang baik dan pintar yang sejati tidaklah mudah, karena bisa jadi Dibuat karena Allah, menjadi murka karena Allah yang artinya dilakukan dengan maksud baik tetapi disangka orang kurang atau tidak baik”.
Karena asyiknya berbincang – bincang tak terasa akhirnya rajutan ibu sudah selesai, dan azan maghrib pun berkumandang. Lalu ibu beranjak untuk sholat maghrib tidak lupa mengajak sang anak untuk sholat bersamanya.

Selasa, 03 November 2009

Seorang penulis berbicara tentang nilai sebuah kata terima kasih

04.20

Ucapkan kata terima kasih dengan penuh penghargaan.

Kata terima kasih itu harus dari lubuk sanubari.

Ekspresikan ucapan terima ksaih dengan jelas, jangan kecilkan suara atau berbicara seperti berkumur.

Ucapkan terima kasih dengan menyebutkan namanya.

Sampaikan ucapan terima kasih ketika orang merasa berada dalam kondisi yang lebih rendah.

Sampaikan pujianmu dengan menisbahkannya pada sesuatu, bukan pada orang tertentu.

Kumpulan kata - kata mutiara

04.14

Seorang bijak ditanya, “Adakah yang lebih baik dari emas dan perak ?”

Ia menjawab, “Ada, orang yang memberikannya.”

Jika kau menemukan sesuatu yang kau benci pada diri seorang sahabat, atau sebuah cela yang tidak kau sukai.

Jangan putuskan hubungannya dan jangan rusak jalinan kasih sayangnya.

Perbaikilah tutur katanya, tutupi kekurangannya, biarkan Dia apa adanya.

Puncak kerendahan hati adalah saat berkawan dengan orang miskin, Anda memosisikan diri bukan sebagai orang yang bergelimangan

harta. Begitupun saat bersahabat dengan orang kaya, Anda tidak menganggapnya berkelebihan harta.

Jika Anda berbuat salah, minta maaflah. Jika orang lain bersalah pada

Anda, maafkanlah. Permintaan maaf adalah tanda kedewasaan, dan memaafkan adalah tanda kemuliaan.


Bagaimana menarik simpati orang ?

04.07

Tidak ada manusia yang memiliki ciri yang sama persis dengan manusia lainnya, dalam kebaikan atau keburukan. Jangan berhenti mencari hal – hal positif dalam diri orang lain, dan hal baik ini dapat Anda terima meski bentuknya sangat sederhana. Yakinkan diri Anda bahwa hal baik yang kecil akan membesar.

Buatlah orang lain merasakan sambutan hangat Anda sehingga orang akan yakin tentang Anda dan semakin mendekatkan dirinya pada Anda.

Jangan kurangi penghargaan Anda terhadap siapa pun dan selalu sampaikanlah ucapan terima kasih dengan cara yang istimewa, hingga Ia tahu bahwa Anda menghargainya.

Seorang Penyair menulis,

Lakukan kebaikan untuk orang lain,

Kau akan perbudak hati mereka

Kebaikan akan memperbudak orang lain

Hadapi orang lain dengan jiwa dan terus

Sempurnakan kebaikan itu

Engkau jadi manusia karena jiwa,

Bukan karena jasad